Mengajar dengan Cerdik Saat Pandemi

Oleh:  Mardijah S. Ag.

         Sekitar Maret 2020, kisaran bulan Maret. Berita tentang Virus Corona mengguncang dunia. Kota Wuhan, awal virus itu berasal seolah-olah menjadi kota mati. Sepi, tak ada yang berani keluar rumah. Kerumunan dilarang. Setiap orang di haruskan menjaga jarak, memakai masker jika keluar rumah. Hingga secara ekstrim pemerintah China, melakukan lockdown terhadap Kota Wuhan. Tidak berhenti sampai  di situ, virus itu ternyata merebak juga ke beberapa kota di dunia. Video orang tumbang dan mati di jalan menjadi viral di media sosial. Berkidik!


            Tak terbayang sebelumnya bahwa , Indonesiapun terdampak. Bahkan seluruh dunia. Tak terelakan. Terlepas dari simpang siurnya berita tentang virus-19 itu. Yang kita rasakan adalah segala lini kehidupan harus beradaptasi. Kewajiban menegakkan Protokol Kesehatan (mencuci tangan, menjaga jarak, memakai masker dan lain-lain) menjadi syarat mutlak. Jika mau hidup taati, atau terpapar. Segala bentuk kerumunan menjadi kecemasan penyebar virus. Menciptakan kluster baru yang dikhwatirkan melebarnya penularan. Tak Pelak lagi, dunia pendidikanpun terdampak. Sekolah wajib melakukan pembelajaran secara on line.  Harus dalam jaringan (daring).

            Sebagai guru, jujur, saya kaget setengah mati. Bertemu tiap hari dengan anak-anak didik saja, tidak jamin mereka menjadi sesuai harapan. Ini malah jarak jauh. Bagaimana mungkin? Jika di sekolah, pagi di awali dengan sholat duha, lanjut ke kelas, sholat dhuhur berjamaah, makan siang bersama di ruang makan. Tetap mengajarkan adab makan yang baik di ruang makan. Mereka terus terlatih makan apapun yang disajikan, makan sayur, membersihkan bekas makan sendiri. Menjaga kebersihan ruang makan. Sabar antri dan selalu belajar berbagi. Bermain bersama, kemah bersama, game bersama. Dan semua bentuk sentuhan, pembinaan karakter, kandas! Tidak bisa lagi. Lalu bagaimana?

            Kita semua mafhum, dalam satu kelas terdapat berbagai ragam individu. Jika satu kelas ada 30 anak. Maka 30 anak individu yang berbeda. Mereka juga punya tipe dan pola pembelajaran yang berbeda. Selama puluhan tahun mengajar, pola belajar tidaklah cukup terwakili dengan hanya 3 saja, yakni  tipe auditori, visual atau kinestetik. Ada anak yang perpaduan antara kinestetik dan visual. Ada yang perpaduan auditori sekaligus kinestetik. Ada yang bahkan kurang menunjukan minat belajar. Ada yang super cuek, namun tenang. Ada yang cuek namun bikin ulah.

            Namun hidup terus berjalan. Belajar tidak boleh berhenti. Guru berusaha mencari solusi dan murid belajar beradaptasi. Orang tua harus  rela menjadi guru di rumah, pendamping sekaligus tutor. Rumah sudah berfungsi menjadi kelas. Bahkan tidak hanya rumah, jalan, dimana saja harus siap menjadi kelas. Belajar tidak lagi di kelas, bisa  di mana saja.

            Dulu siswa bepergian , bisa jadi alasan untuk ijin. Sekarang tidak lagi. Asal membawa Hp, maka belajar tetap berjalan. Dunia menjadi kelas raksasa bagi semua orang. Guru tidak lagi hanya menyajikan materi, tapi menjadi “jendela materi” bagi anak didik. Saat anak-anak didik melewati guru. Mereka sadar sedang membuka satu pintu judul, yang jika di buka jutaan informasi ada di balik pintu itu. Situasi pembelajaran secara on line, menyajikan jutaan pilihan yang beragam. Media yang beragam. Pilihan metode yang beragam. Juga tantangan yang beragam. Media tetaplah media, itu hanya alat. Pertanyaannya, apakah itu sudah cukup memadai ?

            Saya sebutkan satu contoh. Saat saya mengajar tentang Sejarah Wali Songo. Ada buku paket yang saya gunakan sebagai pegangan. Tapi anak-anak juga bisa meng-akses informasi Wali Songo, dari berbagai sumber. Bisa dari google atau you tube, why not? Anak-anak biasa menerima informasi yang jauh lebih luas, jika mau. Anak-anak sudah merdeka belajar, menggali dan mencari informasi tentang sejarah Wali Songo. Namun tetaplah seorang guru harus menjadi pendamping, penyaring dan  penuntun. Membekali dengan kemampuan analisis, nilai-nilai dasar kebenaran. Dasar-dasar logika. Agar mereka tahu, bagaimana menyaring informasi itu dengan benar. Dengan berbagai karakter anak, tentu hal ini  bukan pekerjaan mudah.

            Dimana letak kesulitannya? Menurut saya adalah membangun hubungan personal dengan siswa. Memahami siswa secara utuh, agar bahasa dan tujuan kita bisa dipahami anak didik kita. Dan itu tidaklah mudah dilakukan secara daring. Meskipun bukan hal yang mustahil. Mudah bagi kita untuk menghampiri siswa yang kedapan  sedang melamun di depan kelas, mengajaknya berbicara empat mata, membangun kedekatan dan kepercayaan , “bicaralah nak! ibu ada di sini siap membantumu,”  atau mungkin segera membantu siswa yang nampak kesulitan menjawab latihan soal. Mungkin berbagai kejadian saat off line.

            Hubungan personal yang Intensif terhadap siswa harus di bangun meskipun hanya secara on line. Merdeka belajar bukan berarti membiarkan anak didik bebas berselancar di dunia maya. Sebab semua sepakat, bahwa pengetahuan yang hanya berisi kemampuan, mengenal, mengetahui, mengingat dan menyampaikan ke orang lain. Adalah taraf yang paling rendah. Pendidik harus mampu dan secara serius merangsang kemampuan berpikir  anak didik untuk memahami dengan baik, lalu berusaha menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Nilai-nilai dasar yang akan menjadi bekal dan penguat hidup mereka.  Merdeka belajar, artinya  guru harus terus mengarahkan anak didik. Menjadi pribadi yang kritis, selektif, analisis, mandiri dan bertanggung jawab. Kenapa? karena hanya dengan bekal itu, mereka mampu survive  hidup di dunia yang serba informative dan cepat. Pribadi seperti itu hanya bisa tercipta dengan dasar keyakinan yang kuat.

            Nah, inilah titik terpenting! Saat belajar secara on line, guru memang  harus menguasai IT (Ilmu Tekhnologi). Jika dulu cukup menguasai word, excel dan power point. Sekarang  tidaklah cukup. Guru dituntut  piawai mengelola kelas dengan beragam aplikasi pendukung . Sebut saja WA group (atau semacamnya) G. Formulir, Google Classroom ( berbagai aplikasi sejenis) You tube. Juga mampu mengajar secara virtual , misal dengan zoom meeting, google meeting atau webex dan lain sebagainya.  

            Ada satu hal penting, yang harus ditanamkan setiap guru. Bahwa tidak setiap anak didik memiliki sikap belajar yang baik. Sebagai guru kita wajib memahami itu. Karena itu disamping guru perlu menanamkan beberapa hal yang sangat fundamental di atas.  Guru harus mampu menanamkan kepada anak didiknya.  Pertama, Sikap positif terhadap belajar. Guru bisa menyentuh rasa ini dengan pendekatan agama. Dalam Islam misalnya, bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu. Bahwa segala hal itu harus memiliki dasar ilmu, baru bisa diterapkan secara benar. Menanamkan rasa cinta kepada Allah Sang Pencipta , juga bisa menumbuhkan rasa positif belajar. Dengan penanaman yang kuat, anak tidak mudah putus asa, selalu berusaha mengamalkan nilai-nilai kebenaran dan memiliki kontrol diri dan tujuan hidup yang jelas. Anak memiliki bekal keimanan yang kuat.

            Kedua, membangun kepercayaan diri anak didik. Seorang guru harus pandai mengapresiasi sekecil apapun kompetensi anak didiknya. Sepintar apapun seorang anak, jika dia merasa tidak memiliki kelebihan, maka dia bisa kehilangan keinginan belajar. Secara alamiah, seorang guru wajib membangun euphoria belajar yang membuat anak-anak berani menunjukan kelebihan yang dimiliki. Dalam hal ini, guru harus pandai menggunakan kalimat sugestif, afirmatif dan selalu memberikan motivasi terhadap anak didik.

            Ketiga, bebaskan anak dari label negatif. Siapa kita sehingga membuat kita berhak mengatakan, si A anak bodoh, si B lemot, dan sebagainya? Bukankahh tugas guru memperbaiki semua kekurangan  anak didiknya. Bukankan tugas kita membuat mereka menjadi pribadi yang positif.

            Sekarang mari kita tautkan ketiga hal tersebut saat daring, saat pembelajaran on line, lewat zoom meeting, google meeting atau yang lainnya. Adakah upaya kita untuk mengenl anak-anak didik kita , sebagaimana saat offline. Hal ini  bukan hanya  sekedar mentransfer ilmu. Mengapa sebagian anak nampak sukses dan bahagia dengan pembelajaran on line. Sebagian merasa jenuh dan  bosan. Bahkan cuek. Apakah ini hanya sekedar masalah model dan metode pembelajaran ? Ya mungkin sebagian juga dipengaruhi hal tersebut. Namun Ada hal esensi yang harus di tangkap seorang guru. Bagi seorang guru secara personal, secara subyektif, selaku hamba Tuhan, bahwa Perkuat Iman Anak-anak Didik kita. Maka dia akan akan menjadi pribadi yang ‘MERDEKA BELAJAR’.

           

 

           

           


 

DATA PENULIS

Penulis berdarah Madura ini , lahir di Bangkalan tepatnya tanggal  10 September 1968. Bernama Mardijah. Lebih dikenal di kalangan muridnya dengan panggilan Bu Diyah.

Penggemar buku  sejarah, khususnya sejarah Islam ini. Mengabdi sebagai  Guru PAI di MI Khadijah Malang. Aktif di beberapa group Belajar Menulis. Seperti :

Belajar Menulis Bersama PGRI.

Kelas Menulis Tinta

Sahabat Pena.

Asosiasi Guru Penulis Nasional

Forum Penulis Blog.

Penggagas Literasi Indonesia.

Di kegiatan sosial kemasyarakatan sebagai Ketua MT. Nurjannah Malang dan MT. Aisyah Malang. Aanggota Forum Komunikasi Pendidikan Al Qur’an Malang.

Sejak kecil sudah hobi membaca dan menulis. Memberanikan diri menulis bersama teman sesama guru, dalam buku Antologi “Bukan Guru BIasa” (2020), “ Bahagianya Menjadi Guru” (2020), “Berjuta Cinta dalam Cerita” (2020), “Puisi : Cinta” (2021), “Dalam Genggaman Cinta” (2021), “Literasi Solusi saat Pandemi” (2021), “Writing is My Passion” (2021). 

Menulis buku Ajar “JUARA UAMBN” (2018), editor buku memoar “Menembua Batas”(2020)

Penulis juga penggiat literasi di MI Khadijah. Editor Majalah sekolah bertajuk ”Kharisma”. Penggagas serta pembina Pembelajaran Al Qur-an metode Al Hikmah di MI Khadijah. Pembina Ekstra Menulis “Penulis Cilik MI Khadijah “.

Penulis bisa dihubungi melalui FB: Mardiyah. IG: Mama Azdin .

Alamat blog: azdinmama.blogspot.com.


 

Post a Comment for "Mengajar dengan Cerdik Saat Pandemi"