Mudik karena Cinta

Mudik karena Cinta

Sayutina P.

 

Bulan ramadan tahun ini menjadi titik balik arus mudik yang sebelumnya dibatasi oleh pandemi. Setelah 2 tahun larangan mudik dan 1 tahun pembatasan mudik dengan berbagai aturan, masyarakat seolah menikmati euforia mudik lebaran yang sudah ditunggu-tunggu. Tiket kereta api, pesawat, hingga bus, ludes terjual bahkan sejak awal Ramadan. Masyarakat berbondong-bondong merencanakan liburan di kampung halaman bersama orang tua dan sanak saudara. Terutama bagi mereka yang sejak dulu hidup di perantauan atau berkeluarga di daerah lain, momen mudik menjadi yang paling dinantikan.


Sebagian orang ada yang mudik lebih awal untuk menghindari kemacetan dan tentu saja untuk menikmati bulan Ramadan di kampung sendiri lebih lama. Jika di tempat domisili lebih sibuk dengan pekerjaan dan rutinitas yang sama selama setahun penuh, maka puasa bersama keluarga besar terutama orang tua menjadi obat untuk penat yang menjemukan selama ini.

Bahkan ada yang memang merencanakan berpuasa sebulan penuh di kota kelahiran untuk menikmati setiap detil ramadan, mulai dari menyiapkan takjil, memasak hidangan berbuka, buka bersama sanak saudara, tarawih di masjid kampung, membangunkan sahur, dan lain sebagainya. Semua itu adalah momen istimewa yang hanya bisa dinikmati setahun sekali.

Istilah mudik dalam KBBI berasal dari kata “udik” yang artinya hulu. Jadi mudik artinya adalah menuju ke hulu atau kampung halaman. Orang yang melakukan mudik biasa disebut pemudik. Untuk antonim dari istilah mudik adalah “milir” atau menghilir yang artinya menuju ke hilir atau tempat mencari nafkah (dalam hal ini lebih sering disebut kota), dan yang melakukan kegitan milir disebut pemilir.

Secara umum kata udik memiliki konotasi negatif, karena sejak dulu yang disebut kampung selalu lekat kata ndeso atau norak atau kampungan. Namun justru beberapa tahun belakangan istilah mudik menjadi tren baru di kalangan masyarakat. Mudik menjadi momen yang paling ditunggu semua kalangan dari mulai pekerja kantoran, ASN, hingga buruh pabrik. Bahkan negara mempersiapkan banyak hal untuk kelancaran proses mudik seluruh masyarakat. Dari mulai ketentuan cuti bersama, sistem buka tutup jalan, perbaikan rest area, bahkan juga perbaikan sarana di berbagai lokasi.

Kegiatan mudik yang paling menjadi sorotan adalah di pulau Jawa, terutama mudik bagi perantau ibu kota menuju daerah-daerah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, atau ke luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, bahkan Papua. Karena banyak yang mengadu nasib ke Jakarta dan bekerja di sana, maka otomatis saat mudik berlangsung Jakarta yang biasanya macet parah dan penuh kendaraan bermotor, terlihat kondusif beberapa hari sebelum dan setelah lebaran. Ini membuktikan bahwa mudik memang penting bagi hampir seluruh lapisan masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah. Mudik yang paling ditunggu dan dirindukan untuk bertemu keluarga di kampung, untuk menunjukkan bahwa sejauh apapun kita bekerja mencari nafkah kampung halaman tetaplah rumah paling nyaman untuk pulang.

Sejatinya mudik atau pulang kampung memiliki makna mendalam bagi setiap orang, terutama mereka yang memang terpaksa harus hidup jauh dari rumah untuk mengadu nasib di tanah asing. Ramadan tahun ini lebih istimewa lagi karena pemerintah bahkan memajukan tanggal cuti bersama untuk mengakomodasi proses mudik agar lebih lancar dan tidak terjadi penumpukan kendaraan di berbagai tempat.

Saat pulang kampung dan bisa menikmati Ramadan bersama keluarga tidak bisa digantikan dengan apapun. Kesuksesan di tempat kerja, jabatan tinggi, penghasilan ratusan juta, akan kecil nilainya saat kita menemukan hidangan ibu di meja makan saat berbuka dan tawa bahagia para keponakan menerima uang baru untuk membeli baju lebaran. Setiap orang baik saudara dan tetangga menyambut kedatangan kita dengan hangat, mengajak berbuka puasa bersama, atau mengobrol panjang sehabis tarawih di teras rumah sambil menikmati singkong rebus dan kopi hangat sampai tengah malam. Dini hari dibangunkan untuk sahur dan bersiap shalat subuh. Semuanya terasa berharga karena di dalamnya ada cinta yang tidak terbatas dari orang-orang yang hanya bisa ditemui setahun sekali.

Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak bisa mudik? Entah karena tidak berasal dari sebuah kampung, ataupun karena sudah tidak memiliki keluarga di kampung. Mudik tetap ada bagi mereka, karena mudik adalah milik setiap orang yang memiliki cinta untuk keluarga. Mudik tidak harus ke kampung, tetapi yang paling penting tentu saja makna di dalamnya bagi kita. Menikmati Ramadan dengan khusyuk dan merayakan lebaran bersama keluarga, itulah hal utama dalam setiap momen mudik. Jadi jika kita masih bisa bertemu keluarga lengkap dan mensyukuri apapun hal-hal yang terjadi dalam hidup, mudik sudah kita lakukan. Yang menyesakkan adalah saat kita pulang ke kampung halaman tetapi yang kita temui hanyalah pusara orang-orang tercinta. Salam.

 

 

 

Tentang Penulis :

SAYUTINA P. Penulis adalah seorang guru di SDN Batangbatang Daya III Kecamatan Batangbatang Kabupaten Sumenep. Mengajar aktif sejak tahun 2010 sampai sekarang. Lulusan Diploma II PGSD Universitas Negeri Malang tahun 2008 dan menamatkan S1 PGSD di Universitas Negeri Surabaya tahun 2012. Menulis sebagai kegemaran selain menonton film. Bisa dihubungi di connelly.ayu@gmail.com untuk surel.

Stan

 

 

Post a Comment for "Mudik karena Cinta"