Catatan Untuk Eila

Oleh: Fataty Maulidiyah

Pria  itu mendorong kuat-kuat kursi roda yang duduk diatasnya seorang wanita tua. Ia duduk berpegang erat pada pegangan di kedua kanan dan  kiri kursi roda  itu. Senyumnya mengembang laksana anak kecil yang naik komidi putar. Rambutnya tergerai dan sepasang jepit rambut tua berwarna  hitam  menghiasi  kanan  dan kiri kepalanya. Tampak  kontras dengan  warna rambutnya.

Syal yang melingkari leher wanita itu berkibar-kibar. Jaket rajut  berwarna merah marun membalut tubuhnya yang kian tipis. Pria itu mengecup kepalanya, jalannya mulai pelan sambil tetap mendorong kursi roda yang menyusuri jalan setapak  di taman rumah mereka yang berada di sebuah desa sejuk kawasan Lembang. Udara pagi yang digelayuti  halimun tak menyurutkan keduanya berjalan-jalan menikmati pagi yang buram.  

Pria itu sama rentanya. Rambutnya juga berwarna perak, namun tangannya masih teguh meski terdapat keriput di mana-mana. Di kecupnya lagi  ubun-ubun wanita yang duduk di kursi  roda itu sembari  tangannya digenggamnya begitu erat. Pria itu kemudian duduk di bangku taman, mendampingin wanita tua itu yang selalu diam tatkala pria itu berbicara. Wanita itu hanya memandang ke arah rimbun  pucuk daun-daun teh yang tumbuh di  kebun  yang membentang di semua sisi taman. Ya. Rumah itu dikelilingi kebun teh yang luas. Lalu pria itu mengeluarkan sebuah buku agenda tua yang warna sampulnya telah memudar.

Eila,

Pada hari ini, kala itu, di sini. Di taman luas rumah ini, kita menikah. Kau sangat cantik dengan gaun putih. Dan kita telah berikrar sehidup semati. Saat itu senyumanmu selalu merekah bak mawar yang kuntumnya kian ranum menebarkan semerbak aroma wangi.

Saat itu kau berbisik sesaat setelah kita saling memasang cincin.

“Kita menang,Sayang”.

Ya. Kita menang setelah memperjuangkannya. Meyakinkan kedua orangtuamu yang mulanya kurang setuju denganku untuk menjadi suamimu.

 


Matahari beranjak. Sinarnya mulai menyilaukan mata. Pria itu mendorong lagi kursi roda menuju rumah. Mendorongnya pelan-pelan sambil terus berbicara pada wanita yang tetap diam . Sesampainya di rumah, pria itu membopong tubuh tipis itu untuk berbaring di ranjang. Melepas syal, jaket rajut dan sepasang sandalnya. Seperti biasanya, pria itu membersihkan air seni yang tercecer sepanjang jejak mereka ketika masuk rumah. Sudah biasa. Sejak diserang dimensia, wanita itu buang air seni dimana-mana. Di tempat tidur, dimanapun dia duduk, dan berdiri.  Dan pria tua itu selalu setia membersihkan dan merawatnya.

Setelah dibersihkan, juga pakaian wanita itu berganti yang baru dari almari. Pria itu menina-bobokkannya. Menyenandungkan lagu-lagu kala mereka memetik cinta. Sampai kedua mata wanita itu terpejam. Pria itu mengecup lama kening wanita itu. ia selalu berharap apa yang setiap hari ia ucapkan mendapat balasan. Pria itu hanya terus membaca sebuah buku catatan yang ditulisnnya di masa perjalanan hubungan mereka. Berharap wanita itu ingat.

Pria  itu meninggalkan istrinya yang telah lelap dalam damai. Menuju sebuah ruang yang dipenuhi dengan banyak buku-buku. Terutama buku yang ditulis oleh isterinya. Pada puluhan tahun lampau, isterinya adalah penulis untuk anak-anak. Dia sangat menyukai dan mendambakan anak-anak. Ingatan perih itu muncul kembali.

Suatu siang, Eila diserang sakit perut yang hebat. Dia menangis dengan wajah meringis menahan sakit di bagian perut. Segera saja ia melarikannya ke rumah sakit. Hasil diagnosa menjelaskan  bahwa ada kista di ovarium yang pecah . ukurannya yang setengah kepalan tangan sangat berpotensi menjadi sel ganas. Dokter menyarankan mengangkat  kedua ovariumnya. Yang artinya Eila tidak akan pernah bisa memliki anak.

Pria itu menangis sambil menandatangani operasi pengangkatan itu demi keselamatan isterinya. Karena jika tidak diangkat akan ada kista-kista lain yang akan tumbuh. Dan Eila mengetahuinya dari dokter yang secara spontan menyampaikan bahwa operasi pengangkatan ovariumnya sukses. Sejak itu Eila sering histeris. Pria itu hanya bisa menangis sambil memeluknya. Dan waktu telah menyembuhkannya. Pasangan itu mengadopsi dua anak yatim yang terdidik dengan baik di sebuah panti asuhan. Mereka sangat baik, patuh, bersikap hormat dan penuh kasih sayang .

Waktu berlalu demikian cepat, hingga pasangan ini menjadi seorang yang sudah berusia lanjut. Sampai suatu ketika, pria itu menangkap basah Eila sedang memasang keset dapur diatas bantal yang tersusun diranjangnya. Mulai saat itu banyak keganjilan-keganjilan pada diri Eila yang mengarah pada gejala dimensia.Ia sering terlihat bicara sendiri, tidak bisa membedakan pagi, siang, malam juga tidak bisa mengenal hujan dan panas. Dan mulai saat itu pula pria itu menyadari bahwa ia telah kehilangan jiwa isterinya yang dirampas dimensia.

Pria itu tak lelah berjuang mengembalikan ingatan isterinya dengan selalu mengajaknya bicara, dan membacakan kisah-kisah yang ditulisnya dalam sebuah diari. Hanya hal-hal indah yang diceritakan padanya. Sedang kisah pilu itu ia dekap sendirian.

 

Eila,

Rumah ini adalah rumah impianmu

Kau sudah mengincarnya sejak lama. Semenjak kita sering jalan-jalan di pematang kebun teh dan kau selalu minta difoto

Dengan gaya khasmu . Rok yang kau tarik ujungnya agar sedikit melebar.gaya Cinderella, katamu.

Kau adalah model favoritku,Eila.

Selain alam yang sering kujadikan obyek, dirimulah sumber keindahan itu.

Eila,

Kau tentu masih ingat. Kau yang lebih dahulu menyampaikan kita harus memiliki rumah ini. Yang dulunya adalah Guest House. Karena engkau sangat menyukai aroma pucuk-pucuk daun teh.

Hanya saja aku baru bisa mewujudkannya di masa senja kita,Eila. Maafkan aku.

 

Pria itu terus berbicara sambil menyisir rambut isterinya. Berbicara menghadap cermin agar ia bisa melihat rautnya, yang ternyata kadang ia tersenyum seakan memahami kata-katanya. Di setiap harinya, pria itu tak berhenti membaca catatan hariannya untuk isterinya,Eila. Pada waktu pagi, siang, sore, senja dan sebelum terlelap. Isterinya itu masih saja jarang bicara. Bicara yang sesungguhnya. Merespon sikap dan kata-katanya. Seringnya malah bicara sendiri dan memanggil-manggil nama kerabat dan leluhur yang lebih dulu meninggal. Pria itu masih meyakini, suatu saat nanti, Eila, isterinya itu akan mengingat sesuatu.

Eila masih mematung dan menghadap cermin. Tubuhnya sudah wangi beraroma bayi. Pria itu telah merawatnya dengan baik. Memapahnya ke kamar mandi yang membasuh tubuhnya dengan air hangat, memakaikannya baju-baju yang anggun dan nyaman lalu enyisir rambutnya. Pria itu duduk di tepian ranjang melihat Eila masih mematung di depan cermin. Tangannya bergerak menyentuk jepit rambut berwarna hita itu. dan sesaat kemudian, pria itu terhenyak mendengar sebuah kalimat yang keluar dari bibir Eila.

“ Noah, apa aku cantik?”.

Pria itu sontak menangis dan menghambur memeluk tubuh tipis itu. Ia sesenggukan dan berlinang airmata bahagia. Saat itu Eila menyebut namanya setelah 20 tahun selalu diam.***

*Penulis merupakan guru MAN Mojokerto dan Anggota Media Guru Indonesia

Untuk informasi pendidikan dan literasi lainnya, bisa dibaca juga:

Kumpulan Opini

Kumpulan Esai

Kumpulan Puisi

Kumpulan Informasi Kepegawaian

Kumpulan Informasi PPPK

3 comments for " Catatan Untuk Eila"

  1. Wow... cerpen yang keren...menarik dan indah..sebuah perjalanan panjang dalam kehidupan...semoga panjang umur dan salam sukses... semangat 💪

    ReplyDelete
  2. Aku suka ceritanya, menyentuh hati. Inilah cinta yang sesungguhnya

    ReplyDelete

Tinggalkan komentar Sahabat sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk tetap belajar dan berbagi. Terima kasih atas kunjungannya.