Pembiasaan Empati dan Prilaku Asertif sebagai Solusi Cerdas Atasi Bullying (PEPA SCAB)

 

Pembiasaan Empati dan Prilaku Asertif sebagai

Solusi Cerdas Atasi Bullying (PEPA SCAB)

Husnul Annaswati, S.Psi

 

            Sudah tidak asing lagi tentunya ketika kita mendengar istilah Perundungan atau dikalangan anak sekolah terutama remaja di jaman sekarang lebih familier dengan istilah Bullying. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, pengertian Bullying adalah kekerasan fisik dan psikologis berjangka panjang dan dilakukan seseorang atau kelompok terhadap seseorang yang tidak mampu mempertahankan diri.

            Saya menarik pemahaman bahwa Bullying merupakan prilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, cyber (dunia maya), fisik, maupun psikis ataupun emosi baik di dunia nyata maupun media sosial. Bullying juga membuat seseorang merasa tidak nyaman, sakit hati, malu, bahkan tertekan baik dilakukan secara perorangan ataupun kelompok. Dampak dari Bullying juga tidak bisa dikesampingkan bahkan dianggap biasa. Selain berdampak pada fisik juga pada psikologis korban yang berjangka panjang.

            Sekolah sebagai lingkungan pendidikan formal yang seharusnyan lebih kental sebagai tempat untuk belajar menimba ilmu pengetahuan dan penanaman karakter oleh tenaga profesional pendidik tidak serta merta bisa terbebas dari Bullying. Bullying  dapat terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan kapan saja. Di era Kurikulum Merdeka saat ini bahkan dikenal dengan 3 Dosa Besar Pendidikan, yaitu: Perundungan, sex Bebas, dan Intoleransi di lingkungan satuan Pendidikan. Ketiga hal tersebut diharapkan tidak terjadi di lingkungan sekolah.

            Sebagai Guru Bimbingan Konseling, saya juga sering mendapatkan dan menangani peserta didik korban kasus Bullying, baik yang dilakukan oleh teman sebaya, orang tua, bahkan tanpa disadari warga sekolah sekalipun bisa menjadi pelaku perundungan. Temperamen guru terkadang tanpa disadari bisa menjadi gerbang awal terjadinya bullying dengan memberikan julukan pada ciri fisik sebagai bahan candaan. Misal: Si gendut, Hitam, seperti penjual sayur, dan lain-lain yang akhirnya menjadi bahan tertawa satu kelas.

            Ada 3 pihak yang terlibat dalam bullying yang perlu kita ketahui, yaitu:

1.      Pelaku (Bully atau Bullies)

2.      Korban, (Victim) dan

3.      Saksi/Penonton:

a.      Ally atau Upstander, dan

b.      Bystander.

Ally atau Upstander merupakan orang yang melihat aksi bullying namun berusaha menghentikannya. Sedangkan Bystander adalah orang lain atau saksi yang ada saat kasus bullying selain pelaku dan korban, namun tidak berbuat apa-apa atau takut terlibat sehingga memilih diam.

Pola prilaku Bullying yang sering saya tangani biasanya pelaku atau pembully melakukan bullying dengan dalih bercanda sehingga mengatakan pada korban jangan terlalu ‘baper’ (bawa perasaan). Namun prilaku tersebut dilakukan cenderung berulang-ulang dan bahkan mencari dukungan. Sedangkan Korban Bullying biasanya akan cenderung diam karena merasa lemah dan memiliki rasa percaya diri yang rendah. Orang lain yang berada di sekitar terjadinya bullying biasa disebut bystander akan memilih diam karena takut terlibat dan takut menjadi korban selanjutnya. Hal ini yang membuat bullying tetap terjadi tanpa adanya penanganan yang tepat. Padahal bystander bisa menjadi upstander/ally sebagai sekutu yang membantu korban bullying dengan melaporkan kepada guru atau pihak sekolah yang dipercaya atau dengan berprilaku tegas dengan memengingatkan pelaku tanpa mengabaikan hak-hak orang lain. Bisa juga dengan merangkul teman yang di bully dan mengajak menghadap atau melaporkan kepada wali kelas dan guru BK.

Korban bullying yang saya tangani berdampak pada kesehatan fisik, psikologis dan semangat belajar yang menurun drastis. Korban mengeluh mual, pusing, demam secara tiba-tiba, keluar keringat dingin, cemas, takut, tidak bisa konsentrasi, dan menarik diri dari keramaian (teman-teman). Hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Berangkat dari pengalaman-pengalaman menangani kasus bullying, sebagai guru BK upaya yang saya lakukan:

1.      Menggali Informasi baik pada pelaku dan korban melalui Konseling Individu.

Ternyata pelaku sebagian besar memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis. Orang tua sering menyalahkan, membanding-bandingkan, bahkan ada yang tidak mendapatkan perhatian karena orangtua sibuk bekerja, dan beberapa dari keluarga yang brokenhome.

Sedangkan korban memiliki latar belakang yang memang cenderung pendiam, tidak terbuka dengan orang tua, memiliki kelemahan fisik atau kemampuan.

2.      Kolaborasi dengan Orang tua.

Untuk menggali informasi dan mengetahui latar belakang keluarga, hubungan dengan saudara, dan kebiasaan peserta didik korban bullying tersebut. Orangtua selanjutnya ikut memberikan perhatian dan dukungan.

3.      Kolaborasi dengan Wali Kelas, Guru Mapel, Waka Kesiswaan, dan Kepala Sekolah.

Mengadakan rapat intern untuk mendiskusikan tentang peserta didik yang menjadi korban bullying. Sehingga bapak ibu guru dapat memberikan perlakuan dan dukungan yang tepat, serta membantu kondisi kelas lebih kondusif.

4.      Kerjasama dengan Guru BK.

Untuk memberikan layanan bimbingan konseling terkait Perundungan baik melalui layanan klasikal maupun layanan bimbingan kelompok untuk membiasakan sikap empati dan prilaku asertif  sebagai bagian dari mengasah kecerdasan emosi peserta didik untuk menghadapi masalah dalam kehidupan sehar-hari khususnya sebagai solusi cerdas atasi bullying di sekolah.

Empati menjadi satu sikap yang bisa ditumbuhkan dan dilatih dengan selalu mengasah ikut merasakan apa yang orang lain rasakan. Dan Prilaku asertif menjadi salah satu prilaku dan komunikasi efektif yang dipilih setiap menghadapi masalah atau kendala dengan berani mengungkapkan perasaan, keinginan, kebutuhan, pikiran, harapan, bahkan pendapat secara tegas dan jujur tanpa menyinggung perasaan orang lain. Orang yang biasa berlatih dan menerapkan prilaku asertif biasanya akan lebih mudah berteman dengan siapapun (tidak pilih-pilih teman) sehingga saling menghormati dan saling menghargai yang berdampak pada rasa percaya diri lebih meningkat.

Diharapkan dengan pembiasaan melakukan sikap empati dan prilaku asertif di lingkungan sekolah maka akan terbentuk karakter berpikir sebelum bertindak.  Insyaalah perundungan atau bullying di lingkungan satuan pendidikan dapat teratasi dengan lebih bijaksana. Apabila suatu saat muncul indikasi prilaku yang mengarah pada bullying maka korban dan bystander  lebih mampu mengungkapkan pendapat secara lugas, tegas, dan berani tanpa menyakiti pelaku untuk menghentikan prilaku yang terindikasi mengarah pada bullying sebelum melaporkan kepada wali kelas, guru BK, atau pihak sekolah.

 

###

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Profil Penulis

Bu Annas …, begitulah panggilan kesayangan peserta didik kepadanya. Guru Bimbingan Konseling yang sudah mengabdi 16 tahun lebih di SMA Negeri 1 Lirik Kabupaten Indragiri Hulu Riau. Lahir di D.I Yogyakarta 42 tahun yang lalu dari ke-2 orang tua yang berprofesi sebagai Pendidik.

Memiliki hobby membaca dan menulis. Selalu haus untuk belajar.  Lahir karya 2 buku solo dan beberapa buku antologi baik Esai, Cerpen, Puisi, Pantun, Gurindam, dan Pentigraf bersama: Perempuan Penulis Riau, PERRUAS, Bilik Nulis, Penulis IGI, dan Penulis guru BK se Riau.

Penulis bisa disapa melalui email: husnulannaswati35@guru.sma.belajar.id dan HP/WA: 081365420400.

Post a Comment for "Pembiasaan Empati dan Prilaku Asertif sebagai Solusi Cerdas Atasi Bullying (PEPA SCAB)"