Drama Putih Abu-Abu

Oleh: Dianna Ummijathie

Jam dinding telah menunjukkan pukul lima tepat. Satu jam lagi aku harus segera berangkat. Pagi ini petugas upacara bendera kelas tiga Fisika, dan aku bertugas menjadi dirigen. Aku cukup berjalan saja menuju sekolah yang jaraknya hanya lima ratus meter.
Baju putih yang melekat di tubuhku, masih longgar, sama seperti saat pertama aku membelinya. Rok abu-abu panjang yang berlipat-lipat, tampak sedikit kusut sebab belum kusetrika setelah dicuci kemarin. Kupasang jilbab putih dengan sedikit bordir di setiap sisinya, dan di salah satu ujungnya terdapat logo sekolah. 
Aku masih berdiri di depan cermin. Memutar sembilan puluh derajat ke kiri dan ke kanan, sambil kuperhatikan tubuhku. Tetap tak ada perubahan, masih langsing. Tas ransel hitam bahan kanvas dengan gantungan berbentuk hati, telah menutupi punggungku. Kupakai kaos kaki warna hitam senada dengan sepatu pantofel bertali perekat dengan hak tiga sentimeter. 
Kabut pagi itu sedikit menutupi pandanganku, hawa dingin sudah terasa sejak aku keluar dari rumah tadi. Lalu lalang kendaraan mulai memenuhi ruas jalan. Tampak seorang wanita mengayuh sepeda yang penuh dengan berbagai macam sayur, ikan, daging, dan bumbu-bumbu. Sepagi ini ia mulai keliling menjemput rezeki. Kehadirannya selalu ditunggu ibu-ibu, sehari saja absen, membuat mereka bingung. Bisa jadi anak-anak dan suaminya hanya disuguhi telur ceplok dan mie goreng. 
Tak terasa langkah kakiku hampir mendekati sekolah. Di kejauhan kulihat teman-teman bergerombol di halaman sekolah. Beberapa berlarian ke tempat parkir, sesaat kemudian mereka telah memacu motornya ke luar sekolah. Kupercepat langkahku, ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi. Fira yang melihat kedatanganku, setengah berlari mendekat.

"Tia. Kevin kecelakaan. Kabarnya meninggal di tempat kejadian!" ujarnya sambil menahan tangis. 
Seketika tubuhku limbung, kakiku hampir saja tak mampu menopangnya. Bibirku kelu, tak mampu berkata-kata. Mataku belum lepas memandang wanita di depanku. Sejenak kami saling pandang. Tanpa terasa air mataku sedikit demi sedikit mengalir menganaksungai. Namun aku masih bisa menahan agar alirannya tidak deras.
Melihat tubuhku mulai goyah, seketika Fira merangkulku. Tangisku pecah. Aku tak kuasa lagi menahan derasnya air mataku, hingga membasahi baju Fira. Aku belum percaya Kevin pergi secepat ini. 
Kemarin, saat aku duduk di kursi kantin dan tengah asyik menikmati semangkok bakso, tiba-tiba Kevin mendekatiku. Ia duduk tepat dihadapanku. Aku masih menyantap bakso yang sisa sebutir itu, saat Kevin mulai menyapa. Aku tak mampu melihat wajahnya, dan berusaha menahan agar tak salah tingkah. Cowok berkulit putih, hidung bangir dengan tinggi bak Daniel Wenas atlet basket terkenal Indonesia ini, telah memikat hatiku.
"Mutia. Kok kamu sendirian. Fira mana?" tanyanya. 
Aku hanya menggeleng, sambil memain-mainkan sendok di dalam mangkok yang kuahnya tinggal sedikit itu. Aku tak mampu menjawab, bibirku gemetar. Aku belum mampu menguasai gejolak yang kurasakan sejak pertama kali melihatnya. 
Setiap jam istirahat, aku tak akan beranjak dari tempat duduk sebelum Kevin keluar kelas. Dari balik kaca jendela, diam-diam aku selalu memerhatikan ia berjalan menuju taman di depan kelas. Kursi kayu yang terletak tak jauh dari pohon bougenvile itu, menjadi tempat favoritnya. Di situ ia asyik dengan dunianya, membaca novel. 
"Mutia?"
Sapaan Kevin membuatku tersadar dari lamunan. 
"Iya. Ada apa, Vin?" tanyaku sambil memindahkan mangkok yang telah kosong.
Kevin menatapku tajam, dan terdiam. Sepertinya ada yang ingin ia ungkapkan, tapi masih berusaha merangkai kata-kata yang tepat.
"Aku suka padamu. Memikirkanmu telah membuat waktuku banyak tersita," katanya dengan ekspresi sepenuh jiwa.
Aku terdiam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutku. Rasa bahagiaku meluap-luap. Hatiku berbunga-bunga, ternyata Kevin memiliki rasa yang sama denganku. Tapi, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Kini hatiku hancur berkeping-keping mendengar kabar Kevin telah tiada. Sambil berjalan menuju ruang kelas, Fira berusaha menenangkan hatiku. Ia paling tahu bagaimana perasaanku pada Kevin. 
Suasana kelas gaduh. Ira, murid paling pandai di kelasku, dengan mimik sedih menceritakan sesaat sebelum pulang sekolah kemarin, Kevin sempat pamit akan pergi jauh. Begitu pun Antri, Ria, dan Nita menceritakan hal yang sama. Mereka beranggapan sikap Kevin merupakan firasat atas kejadian pagi ini.
Riuhnya perbincangan di kelas tiba-tiba terhenti saat Farel, ketua kelas tiga Fisika, masuk dengan wajah memerah seolah menyimpan beribu amarah. Ia berdiri tepat di depan whiteboard menghadap ke arah kami. 
"Ada apa lagi ini?" batinku. 
Belum sempat pertanyaanku terjawab, Aldi sang ketua OSIS masuk kelas dan berdiri di samping Farel. Mimik wajahnya tak jauh beda dengan Farel. Seisi kelas diam, sesekali mereka saling menoleh dan mengerutkan dahi. Aku pun memendam tanya.
"Teman-teman. Ternyata semua ini hanya sandiwara. Ini April Mop!" 
Suara keras Aldi begitu memekakkan telinga. Betapa jengkelnya ia, sebab ulah Kevin ini menghebohkan seluruh warga sekolah pagi ini, tak terkecuali guru-guru. Hingga upacara bendera dibatalkan.
Kuperhatikan wajah seisi kelas satu per satu, semua menggerutu, dan menumpahkan kekesalannya. Namun tidak dengan aku dan Fira. Kami saling senyum dan setengah berlari bersama-sama keluar kelas, menuju hamparan rumput babat di lapangan samping sekolah. Kami melompat-lompat kegirangan, bak anak kecil berebut balon udara.

"Ah. Kevin. Kamu ada-ada saja."

Bondowoso, 6 November 2021.



Profil Penulis
Dianna Ummijathie, S.Pd., lahir di Banyuwangi, 20 April 1969. Guru MI Nurul Hasan Kejawan Grujugan Bondowoso. Penulis bisa dihubungi di diannaummijathie@gmail.com
WA: 081233829111









Kumuplan Esai >>> Simak Di Sini

Kumpulan Opini  >>> Simak Di Sini

Pendidikan dan Literasi  >>> Simak Di Sini

10 comments for "Drama Putih Abu-Abu"

Tinggalkan komentar Sahabat sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk tetap belajar dan berbagi. Terima kasih atas kunjungannya.