Ramadan Pertamaku sebagai Yatim (Ramadan Berkah)

 

Ramadan Pertamaku sebagai Yatim

Husni, S.Pd.I.,Gr

 

Suka duka keluarga perantau sudah jadi pengetahuan umum (baca: rahasia umum) terkait kedatangan bulan suci Ramadan. Entah tidak bisa pulang kampung karena tidak ada libur atau cuti di tempat kerja ataupun sekolah, atau mau pulang dan kebetulan ada hari libur, tapi ternyata budget yang tidak mendukung, bahkan kadang juga, mau pulang, budget sudah siap, sengaja minta cuti, tapi tiba-tiba ada faktor X yang membuat keberangkatan untuk pulang kampung terpaksa dibatalkan.

Semua warna-warni ini sudah melekat begitu kuat dalam kehidupan para perantau. Dan mereka sudah sangat terasah mentalnya dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan keseharian, baik itu kemungkinan yang membahagiakan, mengkhawatirkan, bahkan yang terburuk sekalipun.


Cerita ini tentang takdir yang tak dinyana, sekelumit kisah kehidupan, yang mungkin pernah dialami juga oleh orang lain.

Sudah beberapa tahun kami tidak bisa pulang bahkan dalam momen-momen penting kehidupan, dan papa mama di kampung selalu tanpa bosan, menelfon dan bertanya, "Liburan nanti bisa pulang kah, Nak?"

Tapi biasanya, jawaban kami selalu begitu-begitu saja, "Liburan cuma 1 minggu, Ma. Kami repot kalau pulang padahal waktunya hanya sesingkat itu".

Selalu seperti itu, komunikasi yang berakhir tanpa solusi. Lalu beberapa bulan sebelum Ramadan, tiba-tiba terbersit ide yang lebih mudah (bagi jalan pikiran manusia), "Bagaimana kalau Ramadan nanti insyaa Allah, mama sama papa aja yang berpuasa di tempat kami".

Mama yang sudah rindu, tentu menyambut tawaran itu dengan suka cita. Setelah negosiasi juga dengan papa, Alhamdulillah, papa bilang, "Insyaa Allah kalau kita semua sehat, Nak".

Dalam hati, iya, Ramadan masih 3 bulan lagi. Masih sangat besar kemungkinan adanya kejadian-kejadian yang bisa membatalkan rencana ini. Berpikir positif dan lebih kepada bersorak kegirangan menyambut rencana ini. Sudah terbayang di pikiran agenda-agenda yang akan kami lakukan bersama saat papa mama datang dari kampung dan tinggal sebulan penuh di kota kami dalam rangka berpuasa Ramadan.

Itu adalah rencana dan keinginan manusia. Tiada seorangpun yang tahu bagaimana rencana Allah terhadap kehidupannya. Hanya 10 hari setelah perjanjian itu, takdir Allah menyapa tanpa kompromi. Tanpa diduga, kabar pun datang membawa angin kedukaan yang menyemburkan luka begitu pedih, Ayahku berpulang kembali kepada Sang Pencipta, tanpa pesan dan tanpa bertemu satupun dari keempat anaknya. Hanya mama yang bersamanya di momen terakhir kehidupannya malam itu.

Kami yang jauh dirantau, hanya bisa menyaksikan jenazah beliau diselenggarakan lewat panggilan video. Karena secepat apapun keberangkatan, tetap akan membuang masa untuk meneladani sunnah Rasul bahwa salah satu yang harus disegerakan adalah mengurus jenazah. Kami berangkat ke kampung setelah hari ketiga kepergian papa. Itu setelah mengurus beberapa keperluan terkait pekerjaan dan sekolah anak-anak. Pulang kampung dadakan yang tidak direncanakan, tidak dianggarkan, bahkan tidak diharapkan sama sekali situasinya. Bisa jadi itu salah satu cara Allah agar kami pulang dan bertemu keluarga besar.

Kurang lebih 2 minggu kami membersamai mama menyelenggarakan tahlilan dan pengajian untuk mendoakan papa. Sambil menghibur beliau yang sangat sedih dan merasa telah hidup sebatangkara tanpa orang tua dan tanpa suaminya.

Karena jadwal sekolah dan pekerjaan, kami harus segera kembali ke kota rantau. Niat hati mau mengajak mama, tapi tentu mama mau menghabiskan waktu dulu untuk berduka cita dan menziarahi kuburan papa setiap hari.

Lalu… Ramadan tahun ini datang di hari ke 98 papa meninggal. Terkadang masih khilaf menanyakan, "Papa lagi ngapain?'' saat telfonan dengan adik-adik.

Seorang ayah yang tidak secerewet ibu, tapi keberadaannya berakar kuat sebagai salah satu pondasi kehidupan anak-anaknya. Begitu terasa saat dia telah tiada. Seorang ayah yang tidak banyak meminta, tapi kenangan tentangnya tetap membayang begitu hangat dalam kehidupan kami dan orang-orang di sekitarnya.

Di Ramadan ini, tidak ada lagi telfon dini hari yang membangunkan kami agar tak terlambat makan sahur. Tidak ada lagi telfon di pagi hari yang bertanya sudahkah cucu-cucunya bersiap berangkat ke sekolah. Tidak ada lagi telfon di sore hari yang bertanya, "cucu kakek masih kuatkah puasanya?" Dan tidak ada lagi telfon yang mendahului di hari raya Idul Fitri untuk mengucapkan Maaf Lahir Bathin terlebih dahulu.

Ibadah Ramadan pertama yang kami lalui sebagai anak-anak yatim, menegaskan bahwa takdir sama sekali tidak bisa diprediksi. Kini tidak bisa lagi menghormati dan mematuhi sang Ayah secara langsung, yang bisa kami lakukan kini hanya mendoakannya, berinfaq atas namanya, menyambung tali silaturrahim kepada kerabat dan sahabat-sahabatnya, dan tetap menjalankan nasihat-nasihatnya semasa hidup.

Semoga Allah merahmati dan mengampuni ayahku, menerima segala amal kebajikannya, melapangkan dan menerangkan kuburannya, menjadikannya salah satu dari taman-taman surga. Aamiiin Ya Robbal ‘alamiiin…

 

  

Tentang Penulis

 


اَلسَلامُ عَلَيْكُم وَرَحْمَةُ اَللهِ وَبَرَكاتُهُ

Nama saya Husni, lahir di Polewali Mandar, 30 Juni 1985. Saya suka membaca dan menulis, sekarang bekerja sebagai guru Pendidikan Agama Islam di SMP Negeri 1 Sangatta Selatan, Kutai Timur, dan sedang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan Sekolah. Mari menjadi pribadi literat untuk membawa Pendidikan Indonesia ke gerbang peradaban yang lebih maju.

Post a Comment for "Ramadan Pertamaku sebagai Yatim (Ramadan Berkah)"