Menggapai Lailatul Qadar (Ramadan Karim)

 Menggapai Lailatul Qadar

Binti Wasi’atul Ilmi, S.Ag., M.Pd.I.

 

Lailatul Qadar atau Lailat Al-Qadar (dalam bahasa Arab malam kemuliaan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadan, yang dalam Al-Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Seperti yang tercantum  pada Surah Al-Qadar, surah ke-97 dalam Al Qur'an.



Menurut Ulama’ Bapak Quraish Shihab, kata Qadar sesuai dengan penggunaannya dalam ayat-ayat  Al-Qur'an dapat memiliki tiga arti yakni: 1) Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. 2) Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur'an. 3) Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi,

Begitu istimewanya malam Lailatul Qadar sehingga banyak pendapat para ulama’ tentang kapan datangnya malam Lailatu Qadar, juga menjadi bahan perbincangan dan menjadi dasar bagi masyarakat khususnya umat Islam untuk bisa menggapai Lailatul Qadar. Tetapi diantara pendapat ulama’ tersebut yang paling mashur adalah sepuluh hari terakhir terutama pada malam ganjil pada bulan Ramadan. Bagi umat Islam malam ganjil di bulan Ramadan yaitu malam 21, malam 23, malam 25, mlam 27, dan malam 29 hal ini berdasarkan hadis dari Aisyah yang mengatakan: " Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam beriktikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dan dia bersabda, yang artinya: "Carilah malam Lailatul qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadan"  (HR: Bukhari 4/225 dan Muslim 1169).

Banyak hal yang dilakukan umat Islam dalam menggapai malam lailatu qadar selain beriktikaf di dalam Masjid adalah berdzikir, shalat-shalat sunah, membaca Al Qur’an, mengkaji Al Qur’an. berdoa, memperbanyak sedekah dan masih banyak lagi amalan-amalan yang dapat dilakukan. Ada sebagian umat Islam menjadikan momen tersebut yaitu menggapai Lailatul Qadar sebagai sebuah tradisi terutama pada masyarakat Jawa dalam menanti Lailatul Qadar yang disebut dengan maleman.

Maleman adalah selamatan atau kenduri pada malam tanggal ganjil bulan puasa (Ramadan) dan pada waktu yang disebut maleman itu banyak yang mengadakan kenduri atau berbagi sedekah makanan. Pada hari-hari ganjil tersebut umat Islam meyakini akan turunnya malam Lailatul Qadar dan menjadi waktu yang tepat untuk berkirim doa kepada leluhur dengan membagi sedekah semampunya kepada sanak saudara dan tetangga.

Begitu pula di tradisi keluarga orang tuaku, dahulu semasa aku kecil Ketika maleman tiba maka kedua orang tuaku dan saudara-saudara orang tuaku memasak makanan untuk diantar ke tetangga dan saudara-saudara dekat dan aku yang selalu disuruh orang tua untuk mengantar makanan itu. Dengan senangnya aku mengantar karena sudah menjadi kebiasaan di saudara orang tuaku yang mengantar akan diberi “sangu” atau uang saku. Sehingga aku merasa maleman di bulan Ramadan adalah hari-hari yang menyenangkan selain hari raya Idul Fitri.

            Tradisi maleman yang mengantar makanan kepada saudara atau tetangga sekarang sudah tak terlihat lagi tetapi bukan berarti masyarakat meninggalkan tradisi itu, seperti di keluargaku sekarang dan di desaku  kegiatan maleman di mushalla saat ini sudah lain tekniknya setiap warga  membawa makanan ‘berkat’ kenduri untuk dikumpulkan di musholla yang sebelumnya diumumkan bahwa malam 27 adalah malam yang diyakini di mushallaku untuk menggapai malam lailatul Qadar  dan setelah dilaksanakan kultum, tahlil, dan doa  bersama akan dibagikan kembali kepada seluruh warga yang ikut ke musholla

Tradisi maleman tidak hilang terbukti banyak mushalla yang meyakini salah satu malam ginjil di 10 malam terakhir Bulan Ramadan dengan mengumpulkan berkat untuk mengirim tahlil dan doa Bersama dan membagikannya kembali berkat-berkat tersebut. Intinya kegiatan maleman adalah berdoa bersama baik untuk para leluhur atau yang masih hidup untuk mencari keberkahan dengan bersedekah di malam Lailatul Qadar.

Akan tetapi tradisi memberi sangu (uang saku) kepada anak-anak di waktu maleman yang sekarang sudah tidak ada kalau di hari raya Idul Fitri dari dahulu sampai sekarang masih ada. Padahal kalau membandingkan waktu maleman dengan hari Idul Fitri tentu jauh nilai pahalanya. Seandainya ketika tradisi maleman di mushalla ada pembagian sangu (uang saku) seperti hari raya Idul Fitri maka anak-anak kita akan merasakan kegembiraan tidak hanya di hari raya Idul Fitri tetapi juga di malam-malam ganjil di akhir Ramadan. Wallahu A’lam Bi Showab.

Tentang Penulis

Binti Wasi’atul Ilmi, S.Ag., M.Pd.I. Seorang pendidik, penulis dan pegiat literasi, ia tinggal di Desa Ngepeh Kecamatan Loceret Kabupaten Nganjuk  JawaTimur.

Seorang PNS di Lingkungan Kemenag Kabupaten Nganjuk dan diperbantukan di SD. Bekerja sebagai pendidik di SDN 1 Ngepeh. Hobinya Jalan jalan. Riwayat Pendidikan mulai dari MIN Nanggungan sekarang MIN 2 Nganjuk, kemudian melanjutkan di MTsN 3 Nganjuk dan melanjutkan lagi di MAN 2 Kediri. S-1 ia tempuh di IAIN Malang yang sekarang menjadi UIN dan S-2 di tempuh di Pascasarjana IAIN Kediri.

Mulai menulis pada sebuah majalah Pendidikan “MEDIA” Majalah Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Tulisannya yang sudah terbit adalah artikel tentang seputar pendidikan. “Mengoptimalkan Otak Anak dengan Menggambar” , kemudian  “Menyeimbangkan Otak Kiri dan Otak Kanan dengan Mengganbar,  Saat ini sudah menulis puisi bersama dan sudah dibukukan dengan judul “Rindu dan Cinta” dan mencoba untuk menulis Ontologi Guru Inspiratif dan beberapa puisi.

Ia bisa disapa melalui:

e-mail: bintiwasik.bw@gmail.com

Instagram: bintiwasatulilmi

 

Post a Comment for "Menggapai Lailatul Qadar (Ramadan Karim)"