Ramadan Terakhir Bersamamu (Hikmah Ramadan)

 Ramadan Terakhir Bersamamu

Nanik Maisura

 Aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana nanti lepasku disana? Apa yang pertama kali harus aku benahi? Bagaimana aku harus menjalani ini semua? Semua ada dalam pikiranku. Oh Tuhan aku harus memutar otak sementara limit waktu yang dijanjikan akan segera habis, bagaikan bom waktu yang sewaktu waktu akan meledak jika dietikannya telah habis. 


Di antara lamunan dan otakku yang berfikir, sementara di atas mejaku, hapeku berbunyi. Kuraih handphone yang dengan sengaja ku abaikan dari tadi. Rasanya aku ingin mematikan hp. Tapi takut tiba-tiba ibuku dari seberang menelpon. Dengan malas-malasan segera kubaca pesan whatsapp, tak terasa air mataku langsung tumpah saat itu juga. Ya Allah bagaimana ini batinku bergumam.

inilah saatnya batinku berkata siapa yang harus aku hubungi, sementara untuk mengangkat semua barang barang ini butuh biaya. Sesampainya disana juga butuh biaya. Karena rumah yang akan kutempati belum ada penerangan dan air. Untuk mengangkut semua barang perlu transportasi yang otomatis tidak mungkin satu kali angkut. Kubaca berkali-kali pesan dalam whatsapp tersebut yang menggunakan bahasa Kangean, "saporana ya, roma enna ekennengena ben orengna dalam jangka dekat ini, jadi saporana cakna orengna" (maaf ya, rumah ini akan ditempati dalam jangka dekat oleh si pembeli, jadi maaf kata dia).

Bak gelombang pasang yang menerpa hatiku, penuh sesak dalam hatiku. Teringat buah hatiku yang mengalami goncangan dalam masalah ini, apa yang harus aku katakan padanya yang tentunya akan berdampak padanya kalau pindah dalam waktu dekat ini. Tuhan, kenapa harus beruntun masalah ini, kenapa tidak kau buat satu-satu masalah dalam hidupku. Serta merta aku tersentak dan teringat, tak terasa mulutku bergumam, bukankah sebentar lagi bulan Ramadan?

Saat ini yang terlintas adalah anakku yang kedua. Ramadan ini usianya genap 1 tahun. Demi kesehatan mentalnya terpaksa dengan berat hati dia kurelakan bersama ibuku. Sengaja dalam tiga perempat malam kuadukan segala resah dan gundahku diatas sajadah. Hanya cara inilah yang bisa aku lakukan agar hati dan pikiranku lega.

Semua kejadian kejadian yang lalu datang silih berganti. Ya Tuhan kenapa aku begitu berat meninggalkan rumah ini… buatlah ikhlas dalam menjalani semua takdirmu. Bukankah kita lahir tidak membawa apa-apa. Apa yang bisa aku balas kepada orang tua? Rumah ini adalah warisan dari mbah untukku, secara tata aturan maka rumah ini adalah hakku, namun dalam keadaan seperti ini pantaskah aku egois? Kami dinyatakan macet perekonomian. Isi toko habis dan semua aset telah terjual demi membayar hutang bank.

Seperti hari hari biasanya aku berangkat kerja. Berangkat ke sekolah tempatku mengajar, RA Al-Ma’arif Sambakati itulah nama sekolahnya dalam jarak tempuh ±15 menit sudah sampai dari tempatku. Biasanya aku sengaja membuat pelan lajunya sepeda motor dengan tujuan menikmati indahnya persawahan yang begitu indah. Lumayan lah membuat sistem imunku bertambah. Sesampainya disekolah melihat anak-anak yang ceria dengan celoteh polos mereka membuatku lupa akan beban yang begitu berat dalam pundakku.

Bingung, sedih, dan perasaan lain berkecamuk dalam dada, serasa hilang semangat dan patah semangat sehingga melamun dan tidak berbuat apa-apa adalah pelarianku. Memegang hp adalah juga pelarian fisikku diantara lamunan dan pikiranku yang melayang-layang entah apa yang aku pikirkan. Hertin. Sebuah nama muncul dalam layar hp, seolah menemukan sesuatu segera kuangkat teleponnya, dan dari seberang segera berceloteh bak burung pipit yang sedang bernyanyi "nik tumben kamu diam saja dari tadi. kalau aku nelpon biasanya rame sendiri”. Hertin adalah salah satu nama sahabat kuliahku, dia kocak abis dia paling bisa buatku tertawa.

Setelah aku bercerita panjang lebar dia berkata, kemana temanku yang dulu semangatnya tinggi dan pantang menyerah?

“Kalau kamu seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah, ayolah kalau bukan kamu yang kuat terus siapa?” ujarnya.

Setelah hp aku matikan hal pertama yang harus lakukan adalah mengumpulkan barang-barang yang akan aku bawa ke tempat baruku. Lebih tepatnya adalah rumah papan karena semua bahannya bukan dari bahan kebanyakan orang yaitu material umum untuk rumah, tapi dari papan kayu jati. Dalam hati aku bergumam ya allah dengan apa aku angkut semua barang-barang dirumah ini sementara uangku tinggal Rp 45.000. Di bilik hati yang lain berkata, Tuhan tidak mungkin membiarkan umatnya kesusahan. Untuk lebih meringankan aku dan suamiku membawa sebagian barang kecil yang bisa dibawa dengan sepeda motor.

Setibanya di lokasi, rasanya kami ingin menangis mengingat di rumah papan kami belum ada listrik dan air yang mana hal ini sangat vital namun bagaimana juga kami harus pindah. Di sela-sela aku berbenah di rumah lama tiba tiba terdengar ada orang mengucapkan salam.

“Assalamualaikum Bu Nanik…” aku serta merta berhenti dari beres-beresku dan mempersilahkan masuk. Ternyata dia adalah wali murid yang kebetulan singgah ke rumah karena rumah yang mau ia datangi orangnya keluar. Dia mulai heran dengan keadaan rumahku yang berantakan karena sebagian sudah aku packing. Dia heran dengan keadaan itu dan mulailah dengan ragu aku bercerita.

“Kok belum diangkut bu dengan pick up?” tanyanya, kemudian aku menjelaskan permasalahanku.

“Begini aja bu angkut saja dengan pick up adikku kalau masalah bayaran gampang belakangan” bak air sejuk mengalir dalam tenggorokanku mendengar kata kata tadi.

Alhamdulilah yaa Allah ternyata Tuhan mengulurkan tangannya disaat waktu yang tepat. Tak henti hentinya aku mengucap syukur. Mungkin melalui orang ini tuhan mengulurkan bantuannya. Setelah pamitan pulang aku mulai meneruskan kegiatan berbenahku. Setiap ruangan menjadi kenangan yang tak ternilai harganya saat ini menurutku. Seandainya waktu bisa terulang kembali, rumah ini adalah kenangan mulai dari mbahku, ibuku dan aku yang sudah menikah hingga dikaruniai dua anak. Bagaimana mungkin kenangan yang bertahun-tahun terpatri dalam kalbu sebentar lagi akan kutinggalkan.

Tak terasa tiba-tiba begitu sesak dalam kalbuku hingga mataku mulai berair dan tak terbendung lagi membuat aliran yang begitu deras. Setelah hari yang disepakati maka pick up pun datang. Aku sampai dirumah papanku dengan perasaan gundah dan tidak menentu. Tidak ada air, tidak ada penerangan, tapi aku harus kuat didepan anakku. Aku berusaha tenang dan tegar. Untunglah tetangga baru dan lingkungan yang baru begitu welcome atas kepindahanku. Untuk sementara dia menyambungkan listrik 5 watt sebagai penerangan dan air satu ember besar takut malam ini aku butuh ke kamar mandi.

Malam ini tepat malam Jumat kami pindahan. Sesuai dengan adat di kotaku, dipilihnya malam itu karena hari baik menurut perhitungan kalender Hijriyah. Semua barang tumplek blek tak beraturan dengan harapan semua dapat diangkut malam ini. Anakku yang tidak biasa dengan keadaan ini mulai protes, seribu pertanyaan ia lontarkan untukku. Kami tidur di antara tumpukan barang yang tak beraturan. Aku tak bisa tidur di tempat baru ini. Pikiranku mengingat yang telah terjadi, rumah kami terpaksa kami jual demi membayar hutang-hutang dagang yang telah lampau.

Toko kami terpaksa tidak kami buka karena barang dagangan kami tidak up to date lagi sehingga roda perekonomian kami macet total. Doaku saat itu hanyalah apabila ini memang suratan takdirku ijinkanlah aku bisa melewatinya dengan manis dan kuat. Namun rasa bingung tetap saja tumpang tindih dalam kepalaku.

Tiga hari lagi bulan puasa, ya Allah bagaimana ini, bagaimana aku melewati Ramadan ini ya Allah, tanpa pekerjaan, aku harus kerja apa Tuhan? Di tengah kebingunganku dalam hitungan waktu dan detik ternyata Tuhan telah menyiapkan keajaiban untukku. Sambungan PLN yang direncanakan 3 bulan terpasang ternyata dipercepat hari itu juga. Gembira bukan main ada harapan aku menjual jelly untuk Ramadan ini karena kulkasku telah menyala dengan adanya jaringan listrik. Tanpa disangka sangka pula teman-teman tokoku dulu minta bantuan menjualkan cuci gudang.

Alhamdulilah aku harus berbesar hati, pekerjaan apapun yang penting halal dan satu hal jg yang paling beresiko yaitu keadaan ini tidak sampai membuatku stres dan tak berdaya atas kehilangan harta bendaku. Tuhan memberikanku pertolongan pada waktu yang tepat.

Tuhan ternyata mau aku bersabar tingkat tinggi, nikmat manakah yang kau sangsikan tak terasa Ramadan ini mengajakku banyak belajar bersyukur, air yang biasanya aku ambil dari sumur kini diberi bantuan oleh kepala yayasan tempatku mengajar.


Tentang Penulis

Nanik Maisura nama lengkapnya. Lahir di Dusun Kettep, Kecamatan Arjasa, Kepulauan Kangean pada tanggal 15 Juli 1980 dengan naungan bintang cancer. Sekarang ia bertempat tinggal di Dusun Sambakati belakang sekolah RA. AL-MA'ARIF tempatnya mengajar. Ia merupakan lulusan Universitas Widya Gama Malang di Fakultas Ekonomi dengan program studi Manajemen Keuangan. Saat kuliah ia tergabung dalam organisasi pecinta alam WIGAPALA. Gunung yang pernah ia daki rata-rata di daerah Jawa Timur dan Yogyakarta seperti Gunung Sumbing dan Gunung Sinduro. Ia juga pernah tergabung dalam organisasi ASMA di kampus yang bergerak dalam bidang seni tetapi tidak bertahan lama karena kesibukannya yang padat. Pernah ikut pencak silat juga tidak bertahan lama hanya sampai diklat. Saat ini, ia tergabung dalam Fatayat NU. Adapun pendidikan yang pernah dilaluinya yakni:

-     SDN Pangarangan V Sumenep

-     SMPN 2 Sumenep

-     SMAN 1 Sumenep

Dia menikah dengan orang Kangean dan dikaruniai 2 orang putra, Omero Aghnie Fahri Ramadana dan Mohammad Mahfud.

Moto hidupnya "syukurilah apa yang menjadi milikmu, karena kebahagiaan mereka belum tentu kebahagiaan kita”.

 

2 comments for "Ramadan Terakhir Bersamamu (Hikmah Ramadan)"

Tinggalkan komentar Sahabat sebagai saran dan masukan yang sangat berharga untuk tetap belajar dan berbagi. Terima kasih atas kunjungannya.